Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Seperti
yang kita ketahui dalam industri asuransi syariah di Indonesia saat ini, kita
mengenal 2 konsep akad yang digunakannya, yaitu : akad wakalah bil ujrah dan
akad mudharabah musytarakah (sesuai dengan fatwa yang ditetapkan oleh DSN- MUI
No. 50 & 52/ DSN-MUI/III/2005), hal yang sama pula Negara-negara lain
gunakan dalam akad takafulnya. Namun setelah saya membaca salah satu artikel di
website milik Rizka Maulan, Lc.,M.Ag bahwa di Pakistan, ternyata terdapat satu
penerapan konsep akad dalam Takaful yang “agak” berbeda dengan yang pada
umumnya diimplementasikan oleh beberapa Negara dalam penerapan konsep akad
untuk asuransi syariah.
Dalam
artikel itu menjelaskan bahwa ketika Bapak Rizka berkunjung disalah satu
perusahaan asuransi syariah Pak-Kuwait Takaful Company di Pakistan dan bertemu
dengan M. Ittekhar Ahmed (GM Pak-Kuwait) beliau mencoba menayakan seperti apa
gambaran dan implementasi dan penggunaan konsep di perusahaan tersebut? Beliau
menjawab konsep yang digunakan yaitu waqf-wakalah (wakaf & wakalah) dalam
pengelolaannya.
Sekilas,
akad wakaf dan akad dalam asuransi syariah (mudharabah musytarakah dan wakalah
bil ujrah) merupakan dua konsep akad yang sangat berbeda, dan belum pernah
diimplementasikan di dunia asuransi syariah manapun sebelumnya. Wakaf pada
umumnya digunakan untuk membangun sarana-sarana umat yang bersifat permanen,
seperti masjid, sekolah, kampus, rumah sakit dsb. Karena konsep awal dari wakaf
adalah mengikhlaskan sesuatu untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT, berupa
barang atau asset yang notabene “kekal” tidak habis di telan zaman. Sedangkan
akad dalam asuransi syariah (seperti mudharabah musytarakah dan wakalah bil
ujrah), umumnya digunakan untuk hal-hal yang sangat sarat dengan nuansa bisnis
atau investasi.
Seperti
yang dibahas oleh Bapak Rizka yang merupakan Direktur Institut for Islamic Studies & Development
Jakarta beliau Aktif mengisi seminar-seminar ekonomi syariah, memberikan
ceramah dan kegiatan kemasyarakatan. Beliau mencoba menganalisa konsep akad
waqf-wakalah tersebut dengan berbagai pertimbangan dan saya juga penasaran
dengan konsep tersebut bisa tidak akad seperti itu diimplementasikan dalam akad
asuransi yang diterapkan selama ini di Indonesia.
Dari hasil analisanya beliau
mendapatkan gambaran umumnya kurang lebih seperti ini:
1.
Pada
dasarnya, secara umum konsepnya hampir sama dengan konsep takaful dengan model
saving (tabungan). Hanya saja pada bagian savingnya lebih dialokasikan untuk
wakaf. Sebagai contoh (pada model takaful dengan konsep mudharabah/wakalah bil
ujrah) ketika nasabah membayar premi, maka premi tersebut akan diberlakukan
menjadi tiga alokasi berikut:
a. …%
untuk ujrah, yang dialokasikan untuk operasional perusahaan.
b. …%
untuk tabarru’, untuk dana tolong menolong, dialokasikan kepada nasabah yang
terkena musibah (klaim)
c. …%
untuk saving, milik peserta dan sepenuhnya akan dikembalikan ke peserta beserta
hasil investasinya.
Sedangkan
pada konsep wakaf wakalah, distribusi preminya adalah hampir sama, kecuali pada
sisi savingnya saja yang berubah menjadi waqf:
a.
…%
untuk ujrah, yang dialokasikan untuk operasional perusahaan.
b.
…%
untuk tabarru’, untuk dana tolong menolong, dialokasikan kepada nasabah yang terkena
musibah (klaim).
c.
…%
untuk wakaf yang diwakafkan untuk kemaslahatan umat (tidak kembali kepada
nasabah).
2.
Dana
wakaf yang diwakafkan, sama sekali tidak boleh digunakan untuk biaya
operasional, biaya klaim atau apapun terkait dengan operasional perusahaan
asuransi syariah. Dana wakaf harus menjadi asset tetap yang keberadaannya relatif
“abadi”. Kerena konsep wakaf itu adalah
bahwa harta yang diwakafkan tidak boleh berkurang, tidak boleh habis, namun
bersifat produktif dan menghasilkan. Sebagaimana yang Rasulullah SAW sabdakan
kepada Umar bin Khattab ra :
Jika engkau mau, maka tahanlah pokok
harta (yang diwakafkan), dan engkau (dapat) bersedekah dengan hasilnya (HR.
Bukhari).
Dan
dengan konsep seperti ini, kita bisa membayangkan betapa "percepatan"
pertumbuhan "aset" perusahaan asuransi syariah akan sangat cepat dan
terakumulasi semakin lama akan semakin membesar, seperti layaknya dana abadi
yang besar dan semakin besar. Karena premi yang menjadi wakaf, tidak boleh
digunakan untuk apapun, melainkan hanya hasil investasinya saja.
3.
Sedangkan
hasil investasi dari dana wakaf tersebut, boleh digunakan untuk operasioanl
perusahaan asuransi syariah (maksimal 12.5% dari hasil investasi), dan juga
bisa untuk "menambah" cadangan tabarru' (87.5%). Hal ini tentunya
cukup menarik untuk menambah cadangan tabarru' perusahaan asuransi syariah.
Selain sebenarnya perusahaan asuransi syariah juga sudah mengelola
"tabarru'" nasabah, dan telah mendapatkan cadangan tabarru' dari
sini.
4.
Dalam
hal ini, nasabah secara otomatis akan menjadi muwakif/ wakif/ orang yang
berwakaf secara langsung ketika nasabah membayar premi, dalam bentuk cash
wakaf/ wakaf tunai. Sehingga manfaat/ benefit yang akan diterima nasabahpun
menjadi lebih banyak :
a. sebagai nasabah yang berfungsi untuk
ta'awun
b. sebagai muwakif/ wakif
c. sebagai penerima manfaat apabila
mendapat musibah.
d. Investor.
5.
Sedangkan
perusahaan asuransi syariah sendiri, juga akan memiliki fungsi yang lebih
"maksimal", yaitu diantaranya sebagai berikut :
a. sebagai wakil, yang mengelola resiko
nasabah
b. atau mudharib, dalam menginvestaikan
dana nasabah
c. sebagai nadzir wakaf, yang
berkewajiban mengelola wakaf nasabah.
d. sebagai pengelola komitas takaful
yang saling berta'awun dan tolong menolong.
6.
Akad
wakaf yang digunakan adalah wakaf untuk maslahat umat, atau wakaf untuk
ta'awun. Karena wakaf itu tergantung peruntukkannya. Jika muwakif mewakafkan
dananya untuk membangun masjid, maka alokasinya harus sesuai dengan niat
muwakifnya. Oleh karenanya, peranan "arah" dari niat muwakif sangat
penting pada sisi ini. Dan menurut saya yang paling "pas" adalah
wakaf untuk maslahat umat (al-waqf limaslahatil ummah), atau wakaf untuk
ta'awun (al-waqf lit ta'awun).
7.
Dana
wakaf yang terkumpul, bisa "dialokasikan" untuk investasi pada aset
tetap perusahaan asuansi syariah, seperti "gedung wakaf" yang
digunakan sebagai "kantor" perusahaan asuransi syariah. Bahkan jika
dana wakaf semakin membesar dalam jumlah yang sangat besar, tentunya bisa
merambah untuk membuat rumah sakit, sekolah, dsb. Walaupun bisa juga
diinvestasikan pada investasi perkebunan, pembangunan gedung-gedung perkantoran
yang disewakan. Dimana semua hasilnya adalah akan digunakan untuk kemaslahahtan
umat (pembayaran klaim dan juga sedikit untuk operasional).
Nah, konsep ini sangat tepat jika
digunakan untuk konsep asuransi (syariah) berbasis sosial, micro insurance atau
“asuransi non profit” lainnya. Meskipun demikian memang tidak bisa dipungkiri
adanya sisi kerumitan dalam pengimplementasinya, seperti pada sisi pricing yang
cenderung akan relatif lebih mahal. Karena memasukkan komponen wakaf dalam
komponen premi yang harus dibayar oleh nasabah. dan diperlukannya modal awal
yang sangat besar, untuk diimplementasikannya.
Dari penambahan akad wakaf ini
nasabah akan benar-benar merasa mendapatkan dunia akhirat pada saat membayar
premi. Karena ketika membayar premi dia juga secara langsung berwakaf untuk
kemaslahatan umat, walaupun pada asuransi syariah dengan konsep wakalah dan
mudharabah pun sebenarnya juga dunia akhirat, kerena bersifat membantu nasabah
yang tertimpa musibah (tabbaru’).
Hal ini juga ikut berperan penting
untuk lebih mengembangkan eksistensi asuransi syariah dimata kalangan
masyarakat agar masyarakat beralih mengasuransikan diri dan harta mereka di
Takaful. Karena dengan akad wakaf ini mereka melihat secara nyata bahwa premi
yang mereka keluarkan benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, kerena
bukan hanya nasabah yang diuntungkan namun juga masyarakat muslim Indonesia
pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar