Assalamu'alaikum.. Annyeong Haseo..!! Welcome to My Blog.. Jeoneun Aulia Imnida.. Aku hanyalah seorang gadis biasa. yah, gadis biasa! biasa gak nangis, biasa gak marah, biasa gak makan, biasa gak mandi, dan masih banyak biasa-biasa lainnya! haha

Sabtu, 09 November 2013

Fatwa Dewan Syariah nasional MUI no,39/DSN-MUI/X2002 Tentang Asuransi Haji



Fatwa Dewan Syariah nasional MUI no,39/DSN-MUI/X2002 Tentang Asuransi Haji
          Dewan Syariah Nasional adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI no,39/DSN-MUI/X2002 Tentang Asuransi Haji
Menimbang :
A.    Bahwa perjalanan Haji mengandung risiko berupa kecelakaan atau kematian dan untuk meringankan beban risiko tersebut perlu adanya Asuransi.
B.     Bahwa asuransi haji sudah termasuk dalam komponen biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang dibayar oleh calon jamaah haji melalui departemen agama RI.
C.     Bahwa setiap calon jamaah haji mengharapkan semua proses pelaksanaan ibadah haji termasuk asuransinya sesuai dengan syariah agar mendapatkan haji mabrur.
D.    Bahwa pengelenggaraan asuransi konvensional dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka asuransi yang digunakan harus sesuai dengan syariah.
E.     Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang asuransi haji.
Mengingat :
           Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat): dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59] : 18)
          Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam amal kebajikan, antara lain :dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelangaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesunguhnya Allah amat berat siksa-nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2)
          Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan. Antara lain : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburuh ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesunguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-nya. (QS. Al-Maidah [5] : 1)
          Firman Allah QS, An-nisa [4]:58: Sesunguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..
          Firman Allah QS Al-Maidah [5] : 90: Hai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya (meminum) khamar,berjudi,(berkorban untuk) berhala,mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, mka jauilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
          Firman Allah QS.2:275: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
         Firman Allah QS,Al-Baqarah [2] : 279:Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
         Firman Allah QS, An-nisa [4]:29:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.
Hadis nabi riwayat Al-Bukhari dan muslim dari Abu Hurairah: Tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.
Hadis-hadis Nabi SAW tentang beberapa prinsip bermuamalah,antara lain ‘Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan didunia. Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat: Dan Allah senantisa menolong hamba-nya selama ia(suka) menolong saudaranya,(HR, Muslim dari Abu Hurairah).
“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain,” (HR, Muslim dari Abu Musa Al-Asyari).
“Kaum muslim terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,” (HR, Trimidzi dari ‘Amr bin Auf).
“Rasulullah S.A.W, melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR, Muslim,Trimidzi, Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
“Orang-orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutangnya” (HR.Bukhari).
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, Riwayat, Ahmad dari Ibnu’Abbas dan Malik dari Yahya).
Kaidah Fiqh yang menegaskan.: “Pada dasarnya, semua bentuk Muamalah boleh dilakukan kecuali ada Dalil yang mengharamkannya.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 60).
“Keperluan dapat menduduki posisi darurat,” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 63).
“Segala mudharat harus dihindarkan sedapat munkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 62).
“Segala mudharat(bahaya) harus dihilangkan.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 60).
“Tindakan Imam (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti maslahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 121).
Dewan Syariah Nasional Menetapkan : Fatwa Tentang Asuransi Haji
Adalah sebagai berikut :
Pertama  :  Ketentuan Umum
  1. Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.
  2. Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
  3. Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta’awuni(tolong menolong) antar sesama jama’ah haji.
  4. Akad asuransi haji adalah akad Tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Kedua  :  Ketentuan Khusus
  1. Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jama’ah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  2. Jama’ah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru’ yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
  3. Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
  4. Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru’ sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syar’iah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru’.
  5. Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
  6. Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jama’ah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
  7. Surplus Operasional adalah hak jama’ah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.

Ketiga  :  Penyelesaian Perselisihan

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagai mana mestinya.

Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji
Telah ditetapkan bahwa akad yang dipakai dalam pengelolaan dana premi jamaah haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan (perusahaan) asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah. Pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji adalah Menteri Agama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Isi fatwa tersebut perlu di-review paling tidak menyangkut 2 (dua) hal :
Pertama, mengenai besarnya ujrah atau fee yang tidak disebutkan secara jelas angkanya. Dalam Ketentuan Khusus hanya disebutkan bahwa asuransi syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. Kedua, menyangkut surplus underwriting atau surplus operasional yang dalam hal ini adalah menjadi hak jamaah haji namun pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.
Pertama soal besarnya ujrah yang hanya berpatokan pada “prinsip adil dan wajar”. Keadilan dan kewajaran ini tentu saja menjadi relatif apalagi karena asuransi haji ini tetap dikelola oleh perusahaan asuransi yang bersifat komersial dan ditenderkan diantara sekian puluh perusahaan asuransi sehingga peserta tender tentu saja sudah memperhitungkan komponen profit di dalam penawarannya. Apakah jika kemudian perusahaan asuransi syariah menetapkan ujrah sebesar 40% dari premi per nasabah atau dari total premi terkumpul telah dianggap mengikuti “prinsip adil dan wajar” ?. Bisa jadi dari kacamata jamaah haji, angka 40% fee atau ujrah itu terlalu besar sehingga bisa saja dari aspek keridhaan, transaksi asuransi inipun tidak memenuhi syarat “saling rela diantara kalian” (‘an taradhin minkum) sehingga hukumnya menjadi cacat. Oleh karena itu fatwa tentang asuransi haji semestinya memasukkan angka persentase ujrah ini secara jelas sehingga perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana premi jamaah haji tidak memberlakukan pemotongan premi ini sesuai keinginan sendiri.
Kedua adalah menyangkut surplus operasional atau dalam hal ini adalah kelebihan sisa dana premi setelah dikurangi fee (ujrah) dan pembayaran klaim. Sebelum membahas alokasi sisa dana premi ini akan dikemanakan terdapat kontroversi yang sukup menarik ketika seorang direktur perusahaan asuransi syariah di tahun 2005 mempermasalahkan “penyimpangan” praktek pengelolaan dana asuransi haji oleh sebuah perusahaan asuransi pemenang tender di kala itu. Beliau menyampaikan bahwa selain memperoleh ujrah atau fee, perusahaan asuransi tersebut masih juga mengambil sisa dana premi atau surplus operasional yang dalam hal ini berbagi (melakukan surplus sharing) dengan DAU (Dana Abadi Umat) Departemen Agama. Menurut beliau, dana tersebut tidak selayaknya diambil oleh perusahaan asuransi namun harus dikembalikan kepada jamaah haji, karena uang itu adalah hak mereka. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh salah satu pengurus DSN-MUI yang menyatakan bahwa dana tersebut harus dikembalikan kepada jamaah haji berdasarkan fatwa MUI. Sementara dari perusahaan asuransi pemenang tender menyatakan bahwa surplus sharing itu sudah sesuai dengan prinsip syariah dengan memberikan argumen bahwa berdasarkan kebiasaan yang berlaku di bisnis asuransi syariah, 40% dari dana digunakan untuk biaya operasional, 55% dibayarkan sebagai biaya klaim bagi jamaah yang terkena musibah, dan 5% sisanya diinvestasikan secara syariah. Hasil investasi tersebut yang kemudian di-share dengan Depag berdasarkan nisbah bagi hasil 70% : 30%.


Tidak ada komentar: