Fatwa Dewan
Syariah nasional MUI no,39/DSN-MUI/X2002 Tentang Asuransi Haji
Dewan Syariah Nasional adalah lembaga yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas
MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga
keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan
merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa
untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah.
Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip
syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI no,39/DSN-MUI/X2002 Tentang Asuransi Haji
Menimbang
:
A. Bahwa perjalanan Haji mengandung
risiko berupa kecelakaan atau kematian dan untuk meringankan beban risiko
tersebut perlu adanya Asuransi.
B. Bahwa asuransi haji sudah termasuk
dalam komponen biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang dibayar oleh calon
jamaah haji melalui departemen agama RI.
C. Bahwa setiap calon jamaah haji
mengharapkan semua proses pelaksanaan ibadah haji termasuk asuransinya sesuai
dengan syariah agar mendapatkan haji mabrur.
D. Bahwa pengelenggaraan asuransi
konvensional dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka asuransi
yang digunakan harus sesuai dengan syariah.
E. Bahwa oleh karena itu dipandang
perlu menetapkan fatwa tentang asuransi haji.
Mengingat
:
Firman Allah tentang perintah
mempersiapkan hari depan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok akhirat): dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59] : 18)
Firman Allah tentang perintah untuk saling
tolong menolong dalam amal kebajikan, antara lain :dan tolong menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelangaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesunguhnya
Allah amat berat siksa-nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2)
Firman Allah tentang prinsip-prinsip
bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan. Antara lain : Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburuh ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesunguhnya Allah
menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-nya. (QS. Al-Maidah [5] : 1)
Firman Allah QS, An-nisa [4]:58:
Sesunguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil..
Firman Allah QS Al-Maidah [5] : 90:
Hai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya (meminum) khamar,berjudi,(berkorban
untuk) berhala,mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan,
mka jauilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Firman Allah QS.2:275: Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Firman Allah QS,Al-Baqarah [2] :
279:Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu:
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Firman Allah QS, An-nisa [4]:29:Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu.
Hadis nabi riwayat Al-Bukhari dan
muslim dari Abu Hurairah: Tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.
Hadis-hadis Nabi SAW tentang
beberapa prinsip bermuamalah,antara lain ‘Barang siapa melepaskan dari seorang
muslim suatu kesulitan didunia. Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada
hari kiamat: Dan Allah senantisa menolong hamba-nya selama ia(suka) menolong
saudaranya,(HR, Muslim dari Abu Hurairah).
“Seorang mu’min dengan mu’min yang
lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain,” (HR,
Muslim dari Abu Musa Al-Asyari).
“Kaum muslim terikat dengan
syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram,” (HR, Trimidzi dari ‘Amr bin Auf).
“Rasulullah S.A.W, melarang jual
beli yang mengandung gharar” (HR, Muslim,Trimidzi, Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah).
“Orang-orang yang terbaik diantara
kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutangnya” (HR.Bukhari).
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri
dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majah
dari Ubadah bin Shamit, Riwayat, Ahmad dari Ibnu’Abbas dan Malik dari Yahya).
Kaidah Fiqh yang menegaskan.: “Pada
dasarnya, semua bentuk Muamalah boleh dilakukan kecuali ada Dalil yang
mengharamkannya.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 60).
“Keperluan dapat menduduki posisi
darurat,” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 63).
“Segala mudharat harus dihindarkan
sedapat munkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 62).
“Segala mudharat(bahaya) harus
dihilangkan.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir, 60).
“Tindakan Imam (pemegang otoritas)
terhadap rakyat harus mengikuti maslahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzir,
121).
Dewan Syariah Nasional Menetapkan :
Fatwa Tentang Asuransi Haji
Adalah
sebagai berikut :
Pertama : Ketentuan Umum
- Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.
- Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
- Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta’awuni(tolong menolong) antar sesama jama’ah haji.
- Akad asuransi haji adalah akad Tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Kedua : Ketentuan Khusus
- Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jama’ah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Jama’ah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru’ yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
- Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
- Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru’ sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syar’iah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru’.
- Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
- Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jama’ah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
- Surplus Operasional adalah hak jama’ah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.
Ketiga : Penyelesaian
Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang
berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagai mana
mestinya.
Berdasarkan
Fatwa DSN-MUI No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji
Telah ditetapkan bahwa akad
yang dipakai dalam pengelolaan dana premi jamaah haji adalah akad tabarru’
(hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah.
Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan (perusahaan)
asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah. Pemegang polis
induk dari seluruh jamaah haji adalah Menteri Agama yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Isi fatwa
tersebut perlu di-review paling tidak menyangkut 2 (dua) hal :
Pertama, mengenai besarnya ujrah atau fee
yang tidak disebutkan secara jelas angkanya. Dalam Ketentuan Khusus hanya
disebutkan bahwa asuransi syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas
pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil
dan wajar. Kedua, menyangkut
surplus underwriting atau surplus operasional yang dalam hal ini adalah menjadi
hak jamaah haji namun pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai
pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.
Pertama soal besarnya ujrah yang hanya
berpatokan pada “prinsip adil dan wajar”. Keadilan dan kewajaran ini tentu saja
menjadi relatif apalagi karena asuransi haji ini tetap dikelola oleh perusahaan
asuransi yang bersifat komersial dan ditenderkan diantara sekian puluh
perusahaan asuransi sehingga peserta tender tentu saja sudah memperhitungkan
komponen profit di dalam penawarannya. Apakah jika kemudian perusahaan asuransi
syariah menetapkan ujrah sebesar 40% dari premi per nasabah atau dari total
premi terkumpul telah dianggap mengikuti “prinsip adil dan wajar” ?. Bisa jadi
dari kacamata jamaah haji, angka 40% fee atau ujrah itu terlalu besar sehingga
bisa saja dari aspek keridhaan, transaksi asuransi inipun tidak memenuhi syarat
“saling rela diantara kalian” (‘an taradhin minkum) sehingga hukumnya menjadi
cacat. Oleh karena itu fatwa tentang asuransi haji semestinya memasukkan angka
persentase ujrah ini secara jelas sehingga perusahaan asuransi syariah sebagai
pengelola dana premi jamaah haji tidak memberlakukan pemotongan premi ini
sesuai keinginan sendiri.
Kedua adalah menyangkut surplus
operasional atau dalam hal ini adalah kelebihan sisa dana premi setelah
dikurangi fee (ujrah) dan pembayaran klaim. Sebelum membahas alokasi sisa dana
premi ini akan dikemanakan terdapat kontroversi yang sukup menarik ketika
seorang direktur perusahaan asuransi syariah di tahun 2005 mempermasalahkan
“penyimpangan” praktek pengelolaan dana asuransi haji oleh sebuah perusahaan
asuransi pemenang tender di kala itu. Beliau menyampaikan bahwa selain
memperoleh ujrah atau fee, perusahaan asuransi tersebut masih juga mengambil
sisa dana premi atau surplus operasional yang dalam hal ini berbagi (melakukan
surplus sharing) dengan DAU (Dana Abadi Umat) Departemen Agama. Menurut beliau,
dana tersebut tidak selayaknya diambil oleh perusahaan asuransi namun harus
dikembalikan kepada jamaah haji, karena uang itu adalah hak mereka. Pendapat
ini kemudian diperkuat oleh salah satu pengurus DSN-MUI yang menyatakan bahwa
dana tersebut harus dikembalikan kepada jamaah haji berdasarkan fatwa MUI.
Sementara dari perusahaan asuransi pemenang tender menyatakan bahwa surplus
sharing itu sudah sesuai dengan prinsip syariah dengan memberikan argumen bahwa
berdasarkan kebiasaan yang berlaku di bisnis asuransi syariah, 40% dari dana
digunakan untuk biaya operasional, 55% dibayarkan sebagai biaya klaim bagi
jamaah yang terkena musibah, dan 5% sisanya diinvestasikan secara syariah.
Hasil investasi tersebut yang kemudian di-share dengan Depag berdasarkan nisbah
bagi hasil 70% : 30%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar